Wednesday, December 14, 2011

Memutar Kembali Tradisi Pernikahan Raja



Pada tanggal 16 Oktober 2011 sampai dengan 19 Oktober 2011 yang lalu, masyarakat Yogyakarta merayakan prosesi agung pernikahan putri bungsu Sultan Hamengkubowono X yang bernama Gusti Kanjeng Ratu Bendara. Tidak seperti pernikahan tiga putri Sultan sebelumnya, resepsi putri kelima Raja Keraton Yogyakarta ini sedikit berbeda karena mengulangi tradisi pernikahan zaman Sultan Hamengku Buwono VII yang memerintah pada periode tahun 1877-1920, di mana resepsi pernikahan digelar di Kepatihan, tempat tinggal Patih Danurejo yang kini sudah berubah fungsi menjadi Kompleks Kantor Gubernur Provinsi DIY.

Sesuai adat istiadat keraton, banyak sekali prosesi - prosesi sebelum pernikahan yang harus dilalui oleh kedua mempelai ini. Sebelum menikah kedua mempelai mendapat gelar dan nama baru dari Sultan. Putri Sultan yang awalnya bernama Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nurastuti Wijareni  mendapat gelar baru GKR Bendara, sedangkan Achmad Ubaidilah mendapat gelar dan nama baru Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Yudanegara. Prosesi kedua adalah upacara Plangkahan. Plangkahan merupakan simbol kerelaan kakak yang akan dilewati adiknya yang bakal menikah terlebih dahulu. Calon pengantin putri menyerahkan uba rampe plangkahan kepada GRAj Nurabra Juwita. GRAj Nuraba Juwita adalah putri  keempat Sri Sultan Hamengkubowono X.  Setelah penyerahan yang disaksikan langsung oleh Sri Sultan HB X, GKR Pembayun selaku cepeng damel keputren (koordinator Keputren) memberikan aba-aba agar GKR Bendara melakukan prosesi ngabekten (menyembah dan meminta restu) kepada Sri Sultan HB X dan Ratu Hemas. Dalam prosesi itu, GKR Bendara atau yang akrab disapa Jeng Reni melakukan laku ndhodhok (jalan jongkok) di atas karpet bertabur bunga melati untuk mencium lutut Sri Sultan, ayahnya.

Sedangkan calon pengantin pria menjalani prosesi nyantri setelah dijemput dari Dalem Mangkubumen menuju Bangsal Ksatriyan. Prosesi nyantri bagi pengantin laki-laki ini bertujuan untuk mulai mengenal tata budaya keraton, prosesi siraman, midodareni dan  tantingan (saat Sultan menanyakan kembali kemantapan hati kedua pasangan untuk menikah). Penjemputan dilakukan KRT Jatiningrat dan KRT Yudahadiningrat. Perjalanan dari Mangkubumen menuju regol Magangan menggunakan tiga kereta. Yaitu, Kyai Kuthakaraharja yang dinaiki Jatiningrat dan Yudahadiningrat, Puspaka Manik yang digunakan pengantin pria, dan Kyai Kus Gading dinaiki keluarga pengantin laki-laki.

Prosesi utama yaitu ijab qobul dilakukan pada tanggal 17 Oktober 2011 di Masjid Panepen Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ijab qabul dipimpin Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku wali nikah Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara. Prosesi ijab qobul ini berjalan lancar. Meskipun berasal dari Lampung dan tidak terbiasa berbahasa Jawa, Yudanegara lancar mengucapkan ijab qabul. Prosesi ijab qabul di Masjid Panepen disaksikan abdi dalem kaji, penghulu keraton, petugas dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kraton, dan keluarga keraton. Setelah ijab qabul, prosesi pernikahan GKR Bendara dengan KPH Yudanegara akan dilanjutkan dengan ritual "panggih" pengantin di Bangsal Kencana dan kirab pengantin untuk mengenalkan pasangan pengantin kepada masyarakat Yogyakarta. Kirab pengantin ini dilaksanankan pada hari ketiga hajatan pernikahan yaitu tanggal 18 Oktober 2011. Kedua pengantin diarak dari Keraton Yogyakarta menuju Kepatihan menggunakan Kereta Kanjeng Kyai Jutayu. Kereta pengantin diiringi oleh kereta-kereta lain yang membawa kerabat serta prajurit keraton dan kereta khusus yang mengangkut para penari yang akan tampil di hadapan tamu undangan di Kepatihan.Rute perjalanan kirab ini dipenuhi ribuan warga Yogyakarta yang sangat antusias melihat dari dekat pasangan pengantin, putri Rja Keraton Yogyakarta tersebut.

Pernikahan putra Raja Keraton Yogyakarta merupakan peristiwa langka. Sebab, sesuai tradisi keraton, hanya putra dan putri raja saja yang berhak menyelenggarakan pernikahan di dalam kompleks Keraton Yogyakarta.Karena itu, momen peristiwa pernikahan putri bungsu Sultan ini diharapkan mampu menjadi magnet pariwisata di Kota Yogyakarta sekaligus sarana pelestarian adat istiadat. Tak dipungkiri, keraton hingga saat ini masih menjadi tujuan wisata favorit Kota Yogyakarta, baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.Tidak ingin melewatkan peristiwa bersejarah ini, Keraton Yogyakarta sendiri membentuk panitia inti berjumlah 100 orang untuk mempersiapkan seluruh prosesi pernikahan itu. Mereka telah mulai bekerja sejak Juli 2011 lalu.Fungsi politik Keraton Yogyakarta memang telah hilang sejak puluhan tahun lalu. Meski demikian, adat istiadat serta aura kejayaan kerajaan ini masih terasa kuat hingga sekarang. Bahkan, Sultan sendiri sampai saat ini masih dipercaya masyarakat Yogyakarta untuk menjadi Gubernur DIY. Bulan ini, Yogyakarta akan menjadi saksi perhelatan budaya. Diharapkan, peristiwa ini tidak berhenti pada kemeriahan pesta pora belaka, tetapi benar-benar menjadi momen sejarah tradisi Keraton Yogyakarta yang hidup.






0 comments:

Post a Comment

 

Blog Template by BloggerCandy.com